Mengasah Penglihatan Fotografis dengan Metode EDFAT

Metode entire-details-frame-angle-time (EDFAT) dipakai untuk mengasah penglihatan fotografis. Metode pemotretan ini mungkin sudah sering kita dengar. Jurnalis senior sering mengajarkannya di pelatihan-pelatihan. Namun seiring perjalanannya, ada bagian konsep ini yang agak pelenceng pemahamannya.

Metode ini ditulis oleh Frank P. Hoy dalam buku “Photojournalism: the Visual Approach” (1986). Metode ini pengembangan dari seni melihat secara ‘general’, ‘medium’, dan ‘close up’.

Metode EDFAT melatih kita untuk:

Saat kita melihat sekeliling, di sana mungkin ada orang bersepeda, orang jalan, pepohonan, gedung. Semua yang kita lihat tadi layak kita foto. Namun mungkin kita tidak benar-benar memperhatikan, “Apa jenis sepeda yang dipakai? Apa warna dan gambar di kaus orang di sana? Berapa banyak orang di sana? Apakah mereka orang-orang tua atau muda? Pohon tadi jenis apa?”

Kalau kamu punya bayangan kabur dari subjek-subjek tadi, saatnya mencoba EDFAT sebagai checklist. Setelah kamu memotret dengan cara pandang EDFAT kamu akan punya sepaket foto dekat (detail) dan foto jauh, yang memuat informasi secara umum. Namun hal itu tidak atau belum mengupas cerita (storytelling) dari subjek.

Entire – Potretlah keseluruhan pemandangan, yaitu subjek utama berikut lingkungan sekitarnya. Cakupan overview ini disebut juga establishing shot.  Hoy dalam bukunya menyarankan menggunakan lensa setara 50mm, sehingga kita bisa mengawali pemotretan dari sekitar jarak 5 meter kemudian 3 meter, dan 2 meter. Namun kita yang menggunakan lensa zoom bisa memaksimalkan lensa yang ada.

Details dan Framing – Setelah mendapat foto Entire, mendekatlah untuk mengamati detail-detail. Di tahap ini kita tidak memotret subjek bersama lingkungannya, tapi close up atau potret. Kita berkonsentrasi pada detail.

Saat memotret, pikirkanlah batas bidang foto. Inilah yang dipahami sebagai framing. Manfaatkan yang subjek kenakan seperti buku, sepatu, topi dan elemen latar untuk mengeksplorasi komposisi. Kemudian pilih apa yang ingin ada dalam bingkai foto. Buatlah beberapa variasi pemotretan. Yang sering salah dimaknai adalah framing dalam bentuk bingkai foreground.

Angle – Berikutnya adalah mencoba melihat subjek dari sudut pandang yang berbeda. (Bagaimana tampilan subjek kalau dilihat dari sudut pandang berbeda?) Kalau sebelumnya kita motret secara sejajar (eye level), kita bisa mencoba motret dari ketinggian, atau dari bawah.

Time – Selama melakukan pemotretan, kita telah menggunakan aspek waktu (Time) dalam dua cara: pertama adalah momen, yaitu menangkap aksi. Yang kedua adalah waktu yang dilalui untuk meneksporasi banyak kemungkinan visual.

Metode EDFAT membantu kita menemukan banyak cara untuk melihat. Banyak fotografer hanya memotret dari ketertarikan kesan pertama, dan hanya terpaku di sana tanpa mengganti angle dan framing.

Dengan mengikuti  metode ini dan menghasilkan banyak jepretan, kita dapat mengembangkan perspektif. Di akhir pemotretan, kita bisa kembali memotret dari jarak yang lebih jauh sambil berpamitan pada subjek foto.

Berikut ini adalah contoh pemotretan dengan pendekatan EDFAT:

Penjelasan versi video bisa dilihat di vlog Metode EDFAT Fotografi – YouTube

Sumber: “Photojournalism: the Visual Approach by Frank P. Hoy (1986)”

Posted in Uncategorized | 2 Comments

Persepsi pada Fotografi dengan Prinsip Gestalt

Fotografer ingin karya fotonya diapresiasi. Sebelum bisa diapresiasi maka foto tersebut haruslah dilihat. Dalam budaya visual di mana manusia kebanjiran gambar dari internet, sebuah foto harus bersaing di antara jutaan foto lain untuk terlihat.

Ada aspek psikologi yang terlibat dalam persepsi suatu sajian visual. Kita mengenal yang disebut Prinsip Gestalt. Kajian psikologi ini berasal dari Jerman, tempat di mana banyak gagasan filosofis muncul. Dalam dunia industri sekarang, pendekatan Gestalt banyak dipakai untuk desain seperti logo, poster, dan seterusnya. Karena foto adalah bagian dari visual, maka prinsip ini juga berlaku juga dalam fotografi.

Prinsip Gestalt memungkinkan orang melihat bentuk garis, kontur, dan bidang dari titik dan garis, gelap-terang suatu objek, hingga warna melalui ‘pengelompokkan’ tanpa terlalu berpikir. Gestalt juga menjelaskan bagaimana orang menangkap hubungan bentuk tersebut dengan figur lain sehingga mudah dan cepat dikenali.

Fotografer dapat menggunakan Prinsip Gestalt untuk membuat foto mampu mengail perhatian pemirsanya. Sehingga menguasai prinsip atau teori ini baik sebagai landasan pengetahuan tentang persepsi.

Tataran pertama dalam persepsi visual adalah “figure-ground”. Orang cenderung mencari bentuk figur atau subjek utama dalam foto. Di tahap ini orang menyeleksi mana “figure” dan mana “ground”. Figur dilihat selalu sebagai kebalikan dari “ground”.

IMG_6939

Pada foto ini, apa yang Anda lihat pertama kali? Urinal, titian/pelantar, atau rumah di daratan? Pemirsa berusaha membedakan “figure” dan “ground”, kadang mudah tapi kadang sulit.

Ketika orang menemukan bentuk figur, maka membiarkan sisanya sebagai “ground”—yang kadang sering dianggap sebagai “negative space”. Negative space adalah area dalam foto yang dipersepsikan pikiran berada di antara atau di belakang subjek utama. Negative space ini bukan bersifat negatif, karena seringkali ia mampu membuat mata pemirsa beristirahat sejenak ketika mengamati subjek. Seringkali negative space ini juga memunculkan kesan dinamis dalam foto, misalnya ruang di kanan akan membuat subjek di kiri memiliki tempat bergerak.

DSC_4710 (1)

Perempuan berpayung sebagai “figure”.

Sebelum menekan tombol rana, biasanya fotografer memikirkan apa yang ingin ada di dalam bingkainya, kemudian memastikan yang tidak diinginkan tidak ikut terfoto.

Dalam Prinsip Gestalt kita mempelajari pengelompokkan (grouping). Pengelompokkan dalam fotografi yang sering digunakan adalah proximity, similarity, continuity, dan closure.

Proximity

Semakin dekat dua atau lebih elemen, semakin besar kemungkinan dilihat sebagai kesatuan atau pola. Di contoh ini, meskipun bentuknya berbeda akan dilihat sebagai satu kesatuan subjek yang menonjol.

IMG_6109

Similarity

Elemen visual yang mirip baik dari sisi bentuk, ukuran, warna, dan pergerakan, maka cenderung dilihat berhubungan.

Prinsip similarity ini biasa digunakan untuk membuat pola repetisi yang bagi banyak orang membuat mata terasa nyaman. Seringkali kita melihat objek foto yang diletakkan (dikomposisikan) di antara garis-garis bidang.

IMG_7780low

Dalam prinsip similarity ini, bila fotografer ingin menekankan sesuatu (membuat emphasis) maka ia bisa memunculkan sesuatu yang menabrak atau bertentangan dengan repetisi.

DSC_99081

Elemen yang berbeda dalam visual repetitif semacam ini akan muncul sebagai point of interest.

 

Continuity

Orang cenderung lebih suka alur yang terbentuk atas kesinambungan dibanding dengan pola yang berbeda-beda arahnnya.

Kesinambungan dapat mengarahkan mata untuk menuju ke bidang atau objek tertentu, dan bahkan bisa menciptakan ilusi.

20120614FAN8_kebakaran

Closure

Manusia punya tendensi menganggap figur itu utuh melalui garis dan bidang sehingga yang tidak lengkap akan dilengkapi. Prinsip closure ini juga dimaknai sebagai penyelesaian aksi, misalnya objek orang melompat yang membuat orang membayangkan akhir dari lompatan tersebut.

20120211FAN_tablet-iPad3

Itu tadi adalah empat prinsip dalam Gestalt yang sering digunakan oleh fotografer. Selamat berkarya!

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Doa yang Tercerai

Di depan kendi gerabah yang diplester semen, Shinta Ratri, Ketua Pesantren Waria Al-Fatah membasuh sebagian tubuhnya sebagai wudhu. Air dari kendi itu ia timba dari sumur di sebelahnya. Kemudian di rumah utama ia mengenakan mukena dan menunaikan salat. Tak ada lagi salat berjamaah di rumah itu.

Rumah itu adalah rumah limasan kayu dengan bagian tengah ditopang empat saka yang juga terbuat dari kayu. Di ruang tengah di mana Shinta salat, pada tiap Minggu sore hingga malam saat pesantren masih aktif, diisi oleh jemaah waria. Selain salat berjamaah, mereka akan mengaji dan belajar membaca Quran di teras.

Continue reading

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Panduan Meliput Konflik Bagi Jurnalis Foto

Setiap tahun ada saja tindak kekerasan terhadap jurnalis di Tanah Air. Setelah serangan terhadap jurnalis Medan oleh personel TNI AU, bisa dikatakan kerja jurnalis semakin tidak aman. Dan korban umumnya adalah jurnalis yang bekerja dengan kamera, karena peranti ini memang mudah ditengarai. Sehingga lawan atau pihak yang merasa dirugikan oleh keberadaan media mudah menyasar jurnalis.

Secara global, the Committee to Protect Journalists (CPJ), organisasi internasional untuk kebebasan pers mencatat dalam kurun 2016 sebanyak 48 jurnalis tewas. Dan sejak 1992 mereka mencatat 1.228 jurnalis tewas, sebagian di daerah konflik dan sebagian di antaranya adalah jurnalis foto.

Continue reading

Posted in Jurnalistik | Tagged , , , , , | 3 Comments

Foto “Editan” dan Agan Harahap

Malam kemarin saya datang ke sarasehan yang digelar oleh Kelas Pagi Yogyakarta, komunitas nirlaba yang bergiat dalam pendidikan fotografi di Jogja. Sarasehan itu satu di antaranya menghadirkan Agan Harahap untuk bercerita dan mempresentasikan karyanya.

Continue reading

Posted in omongan | Tagged , , | 5 Comments

Sejauh Mana Karya Foto Bisa Digunakan Pihak Lain?

Kita saat ini berada di dunia yang tanpa batas, di mana informasi bertebaran di mana-mana, dan apa yang terjadi di belahan dunia lain bisa disaksikan di belahan bumi yang berbeda. Jauh-jauh hari, pada 1960’an Marshall McLuhan telah meramalkan ini dan menyebutnya sebagai “global village.”

Fotografi juga bagian dari informasi yang berserakan ini. Kita bisa dengan begitu mudah mendapat foto yang dibagi melalui media sosial atau laman-laman dan berita siber, sekaligus menyebarkannya. Nah, di sini ada aspek hukum yang perlu kita perhatikan, kenapa? Agar kita tidak melanggar hak orang lain (atau bertentangan dengan hukum) dan tidak menjadi korban atas aksi orang lain.

Continue reading

Posted in omongan | Tagged , , , | 5 Comments

Visual Literasi?

Saya tidak ingat pastinya bagaimana obrolan itu bermula, yang teringat betul adalah fotografer ini mengatakan bahwa ia tak ingin tahu visual literasi. Alasannya adalah, “Jadi motret banyak pertimbangan. Malah nggak motret ntar.”

Demi mendengar itu saya termangu. Apa ini yang dipikirkan sebagian fotografer? Di kali lain, pernah ada orang yang mengirim pesan pendek, bertanya buku apa yang harus dibaca untuk belajar visual literasi. Ia ingin belajar visual literasi untuk memaknai foto. Apa guna visual literasi untuk memaknai foto?

Continue reading

Posted in Jurnalistik | Tagged , , | 12 Comments

Objektivitas Foto

Fotografi muncul untuk menggapai cita-cita obyektivitas, karena dipercaya mampu memaparkan kembali realitas visual secara presisi. Berbeda dengan lukisan yang bergantung pada tekanan dan sapuan kuas, foto dianggap merupakan jiplakan alam nyata ke dalam medium lembar dua dimensi. Dan kamera membantu fotografer memindahkan imaji tersebut.

Continue reading

Posted in Jurnalistik | Tagged , , , | 2 Comments

Penulisan Caption Foto (Bagian 1)

Dalam foto jurnalistik, suatu foto bagus bisa tidak berarti apa-apa tanpa caption. Karena keberadaan caption sama pentingnya dengan gambar itu sendiri. Caption membuat pembaca tidak perlu menerka-nerka pesan dalam foto.

Kini, di era di mana foto membanjiri layar ponsel dan komputer kita, caption menjadi semakin penting bagi media untuk menarik pembaca. Riset yang dilakukan Sara Quinn untuk National Press Photographers Association menunjukkan bahwa caption yang baik membuat satu foto dilihat 30% lebih lama oleh pembaca. Caption yang ditulis dengan baik membuat orang membaca dan kembali melihat foto secara berulang untuk memahami cerita.

Caption adalah teks yang menyertai foto jurnalistik. Fred S.Parrish dalam bukunyaPhotojournalism: An Introduction” menjabarkan bahwa caption membantu mengarahkan perspektif sebuah foto dan menjelaskan detail informasi yang tidak ada dalam gambar, membingungkan, atau tidak jelas.

Continue reading

Posted in Jurnalistik | Tagged , , , , , | Leave a comment